Senin, 15 Juni 2020

<div>Logo made by <a href="https://www.designevo.com/logo-maker/" title="Free Online Logo Maker">DesignEvo free logo creator</a></div>

Jumat, 27 Oktober 2017

Macam Kepemimpinan Serta Fungsinya

A.     Pengertian Kepemimpinan (Leadership)
Stogdill (1974) menyimpulkan bahwa banyak sekali definisi mengenai kepemimpinan. Hal ini dikarenakan banyak sekali orang yang telah mencoba mendefinisikan konsep kepemimpinan tersebut. Namun demikian, semua definisi kepemimpinan yang ada mempunyai beberapa unsur yang sama. Menurut Sarros dan Butchatsky (1996), "leadership is defined as the purposeful behaviour of influencing others to contribute to a commonly agreed goal for the benefit of individual as well as the organization or common good". Menurut definisi tersebut, kepemimpinan dapat didefinisikan sebagai suatu perilaku dengan tujuan tertentu untuk mempengaruhi aktivitas para anggota kelompok untuk mencapai tujuan bersama yang dirancang untuk memberikan manfaat individu dan organisasi. Sedangkan menurut Anderson (1988), "leadership means using power to influence the thoughts and actions of others in such a way that achieve high performance".
Berdasarkan definisi-definisi di atas, kepemimpinan memiliki beberapa implikasi. Pertama, kepemimpinan berarti melibatkan orang atau pihak lain, yaitu para karyawan atau bawahan (followers). Para karyawan atau bawahan harus memiliki kemauan untuk menerima arahan dari pemimpin. Walaupun demikian, tanpa adanya karyawan atau bawahan, kepemimpinan tidak akan ada juga. Para pemimpin dapat menggunakan bentuk-bentuk kekuasaan atau kekuatan yang berbeda untuk mempengaruhi perilaku bawahan dalam berbagai situasi.
Kedua, seorang pemimpin yang efektif adalah seseorang yang dengan kekuasaannya (his or her power) mampu menggugah pengikutnya untuk mencapai kinerja yang memuaskan. Menurut French dan Raven (1968), kekuasaan yang dimiliki oleh para pemimpin dapat bersumber dari:
1)      Reward power, yang didasarkan atas persepsi bawahan bahwa pemimpin mempunyai kemampuan dan sumberdaya untuk memberikan penghargaan kepada bawahan yang mengikuti arahan-arahan pemimpinnya.
2)      Coercive power, yang didasarkan atas persepsi bawahan bahwa pemimpin mempunyai kemampuan memberikan hukuman bagi bawahan yang tidak mengikuti arahan-arahan pemimpinnya
3)      Legitimate power, yang didasarkan atas persepsi bawahan bahwa pemimpin mempunyai hak untuk menggunakan pengaruh dan otoritas yang dimilikinya.
4)      Referent power, yang didasarkan atas identifikasi (pengenalan) bawahan terhadap sosok pemimpin. Para pemimpin dapat menggunakan pengaruhnya karena karakteristik pribadinya, reputasinya atau karismanya.
5)      Expert power, yang didasarkan atas persepsi bawahan bahwa pemimpin adalah seeorang yang memiliki kompetensi dan mempunyai keahlian dalam bidangnya.
Ketiga, kepemimpinan harus memiliki kejujuran terhadap diri sendiri (integrity), sikap bertanggungjawab yang tulus (compassion), pengetahuan (cognizance), keberanian bertindak sesuai dengan keyakinan (commitment), kepercayaan pada diri sendiri dan orang lain (confidence) dan kemampuan untuk meyakinkan orang lain (communication) dalam membangun organisasi.
Walaupun kepemimpinan (leadership) seringkali disamakan dengan manajemen (management), kedua konsep tersebut berbeda. Perbedaan antara pemimpin dan manajer dinyatakan secara jelas oleh Bennis and Nanus (1995). Pemimpin berfokus pada mengerjakan yang benar sedangkan manajer memusatkan perhatian pada mengerjakan secara tepat ("managers are people who do things right and leaders are people who do the right thing"). Kepemimpinan memastikan tangga yang kita daki bersandar pada tembok secara tepat, sedangkan manajemen mengusahakan agar kita mendaki tangga seefisien mungkin.[1]
B.     Model-Model Kepemimpinan
Banyak studi mengenai kecakapan kepemimpinan (leadership skills) yang dibahas dari berbagai perspektif yang telah dilakukan oleh para peneliti. Analisis awal tentang kepemimpinan, dari tahun 1900-an hingga tahun 1950-an, memfokuskan perhatian pada perbedaan karakteristik antara pemimpin (leaders) dan pengikut/karyawan (followers). Karena hasil penelitian pada saat periode tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat satu pun sifat atau watak (trait) atau kombinasi sifat atau watak yang dapat menerangkan sepenuhnya tentang kemampuan para pemimpin, maka perhatian para peneliti bergeser pada masalah pengaruh situasi terhadap kemampuan dan tingkah laku para pemimpin.
Studi-studi kepemimpinan selanjutnya berfokus pada tingkah laku yang diperagakan oleh para pemimpin yang efektif. Untuk memahami faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tingkah laku para pemimpin yang efektif, para peneliti menggunakan model kontingensi (contingency model). Dengan model kontingensi tersebut para peneliti menguji keterkaitan antara watak pribadi, variabel-variabel situasi dan keefektifan pemimpin.
Studi-studi tentang kepemimpinan pada tahun 1970-an dan 1980-an, sekali lagi memfokuskan perhatiannya kepada karakteristik individual para pemimpin yang mempengaruhi keefektifan mereka dan keberhasilan organisasi yang mereka pimpin. Hasil-hasil penelitian pada periode tahun 1970-an dan 1980-an mengarah kepada kesimpulan bahwa pemimpin dan kepemimpinan adalah persoalan yang sangat penting untuk dipelajari (crucial), namun kedua hal tersebut disadari sebagai komponen organisasi yang sangat komplek.
Dalam perkembangannya, model yang relatif baru dalam studi kepemimpinan disebut sebagai model kepemimpinan transformasional. Model ini dianggap sebagai model yang terbaik dalam menjelaskan karakteristik pemimpin. Konsep kepemimpinan transformasional ini mengintegrasikan ide-ide yang dikembangkan dalam pendekatan watak, gaya dan kontingensi.
Berikut ini akan dibahas tentang perkembangan pemikiran ahli-ahli manajemen mengenai model-model kepemimpinan yang ada dalam literatur.
1)      Model Watak Kepemimpinan (Traits Model of Leadership)
Pada umumnya studi-studi kepemimpinan pada tahap awal mencoba meneliti tentang watak individu yang melekat pada diri para pemimpin, seperti misalnya: kecerdasan, kejujuran, kematangan, ketegasan, kecakapan berbicara, kesupelan dalam bergaul, status sosial ekonomi mereka dan lain-lain (Bass 1960, Stogdill 1974).
Stogdill (1974) menyatakan bahwa terdapat enam kategori faktor pribadi yang membedakan antara pemimpin dan pengikut, yaitu kapasitas, prestasi, tanggung jawab, partisipasi, status dan situasi. Namun demikian banyak studi yang menunjukkan bahwa faktor-faktor yang membedakan antara pemimpin dan pengikut dalam satu studi tidak konsisten dan tidak didukung dengan hasil-hasil studi yang lain. Disamping itu, watak pribadi bukanlah faktor yang dominan dalam menentukan keberhasilan kinerja manajerial para pemimpin. Hingga tahun 1950-an, lebih dari 100 studi yang telah dilakukan untuk mengidentifikasi watak atau sifat personal yang dibutuhkan oleh pemimpin yang baik, dan dari studi-studi tersebut dinyatakan bahwa hubungan antara karakteristik watak dengan efektifitas kepemimpinan, walaupun positif, tetapi tingkat signifikasinya sangat rendah (Stogdill 1970). Bukti-bukti yang ada menyarankan bahwa "leadership is a relation that exists between persons in a social situation, and that persons who are leaders in one situation may not necessarily be leaders in other situation" (Stogdill 1970). Apabila kepemimpinan didasarkan pada faktor situasi, maka pengaruh watak yang dimiliki oleh para pemimpin mempunyai pengaruh yang tidak signifikan.
Kegagalan studi-studi tentang kepimpinan pada periode awal ini, yang tidak berhasil meyakinkan adanya hubungan yang jelas antara watak pribadi pemimpin dan kepemimpinan, membuat para peneliti untuk mencari faktor-faktor lain (selain faktor watak), seperti misalnya faktor situasi, yang diharapkan dapat secara jelas menerangkan perbedaan karakteristik antara pemimpin dan pengikut.
2)      Model Kepemimpinan Situasional (Model of Situasional Leadership)
Model kepemimpinan situasional merupakan pengembangan model watak kepemimpinan dengan fokus utama faktor situasi sebagai variabel penentu kemampuan kepemimpinan. Studistudi tentang kepemimpinan situasional mencoba mengidentifikasi karakteristik situasi atau keadaan sebagai faktor penentu utama yang membuat seorang pemimpin berhasil melaksanakan tugas-tugas organisasi secara efektif dan efisien. Dan juga model ini membahas aspek kepemimpinan lebih berdasarkan fungsinya, bukan lagi hanya berdasarkan watak kepribadian pemimpin.
Hencley (1973) menyatakan bahwa faktor situasi lebih menentukan keberhasilan seorang pemimpin dibandingkan dengan watak pribadinya. Menurut pendekatan kepemimpinan situasional ini, seseorang bisa dianggap sebagai pemimpin atau pengikut tergantung pada situasi atau keadaan yang dihadapi. Banyak studi yang mencoba untuk mengidentifikasi karakteristik situasi khusus yang bagaimana yang mempengaruhi kinerja para pemimpin. Hoy dan Miskel (1987), misalnya, menyatakan bahwa terdapat empat faktor yang mempengaruhi kinerja pemimpin, yaitu sifat struktural organisasi (structural properties of the organisation), iklim atau lingkungan organisasi (organisational climate), karakteristik tugas atau peran (role characteristics) dan karakteristik bawahan (subordinate characteristics). Kajian model kepemimpinan situasional lebih menjelaskan fenomena kepemimpinan dibandingkan dengan model terdahulu. Namun demikian model ini masih dianggap belum memadai karena model ini tidak dapat memprediksikan kecakapan kepemimpinan (leadership skills) yang mana yang lebih efektif dalam situasi tertentu.
3)      Model Pemimpin yang Efektif (Model of Effective Leaders)
Model kajian kepemimpinan ini memberikan informasi tentang tipe-tipe tingkah laku (types of behaviours) para pemimpin yang efektif. Tingkah laku para pemimpin dapat dikatagorikan menjadi dua dimensi, yaitu struktur kelembagaan (initiating structure) dan konsiderasi (consideration). Dimensi struktur kelembagaan menggambarkan sampai sejauh mana para pemimpin mendefinisikan dan menyusun interaksi kelompok dalam rangka pencapaian tujuan organisasi serta sampai sejauh mana para pemimpin mengorganisasikan kegiatan-kegiatan kelompok mereka. Dimensi ini dikaitkan dengan usaha para pemimpin mencapai tujuan organisasi. Dimensi konsiderasi menggambarkan sampai sejauh mana tingkat hubungan kerja antara pemimpin dan bawahannya, dan sampai sejauh mana pemimpin memperhatikan kebutuhan sosial dan emosi bagi bawahan seperti misalnya kebutuhan akan pengakuan, kepuasan kerja dan penghargaan yang mempengaruhi kinerja mereka dalam organisasi. Dimensi konsiderasi ini juga dikaitkan dengan adanya pendekatan kepemimpinan yang mengutamakan komunikasi dua arah, partisipasi dan hubungan manusiawi (human relations).
Halpin (1966), Blake and Mouton (1985) menyatakan bahwa tingkah laku pemimpin yang efektif cenderung menunjukkan kinerja yang tinggi terhadap dua aspek di atas. Mereka berpendapat bahwa pemimpin yang efektif adalah pemimpin yang menata kelembagaan organisasinya secara sangat terstruktur, dan mempunyai hubungan yang persahabatan yang sangat baik, saling percaya, saling menghargai dan senantiasa hangat dengan bawahannya. Secara ringkas, model kepemimpinan efektif ini mendukung anggapan bahwa pemimpin yang efektif adalah pemimpin yang dapat menangani kedua aspek organisasi dan manusia sekaligus dalam organisasinya.
4)      Model Kepemimpinan Kontingensi (Contingency Model)
Studi kepemimpinan jenis ini memfokuskan perhatiannya pada kecocokan antara karakteristik watak pribadi pemimpin, tingkah lakunya dan variabel-variabel situasional. Kalau model kepemimpinan situasional berasumsi bahwa situasi yang berbeda membutuhkan tipe kepemimpinan yang berbeda, maka model kepemimpinan kontingensi memfokuskan perhatian yang lebih luas, yakni pada aspek-aspek keterkaitan antara kondisi atau variabel situasional dengan watak atau tingkah laku dan kriteria kinerja pemimpin (Hoy and Miskel 1987).
Model kepemimpinan Fiedler (1967) disebut sebagai model kontingensi karena model tersebut beranggapan bahwa kontribusi pemimpin terhadap efektifitas kinerja kelompok tergantung pada cara atau gaya kepemimpinan (leadership style) dan kesesuaian situasi (the favourableness of the situation) yang dihadapinya. Menurut Fiedler, ada tiga faktor utama yang mempengaruhi kesesuaian situasi dan ketiga faktor ini selanjutnya mempengaruhi keefektifan pemimpin. Ketiga faktor tersebut adalah hubungan antara pemimpin dan bawahan (leader-member relations), struktur tugas (the task structure) dan kekuatan posisi (position power).
Hubungan antara pemimpin dan bawahan menjelaskan sampai sejauh mana pemimpin itu dipercaya dan disukai oleh bawahan, dan kemauan bawahan untuk mengikuti petunjuk pemimpin. Struktur tugas menjelaskan sampai sejauh mana tugas-tugas dalam organisasi didefinisikan secara jelas dan sampai sejauh mana definisi tugas-tugas tersebut dilengkapi dengan petunjuk yang rinci dan prosedur yang baku. Kekuatan posisi menjelaskan sampai sejauh mana kekuatan atau kekuasaan yang dimiliki oleh pemimpin karena posisinya diterapkan dalam organisasi untuk menanamkan rasa memiliki akan arti penting dan nilai dari tugas-tugas mereka masing-masing. Kekuatan posisi juga menjelaskan sampai sejauh mana pemimpin (misalnya) menggunakan otoritasnya dalam memberikan hukuman dan penghargaan, promosi dan penurunan pangkat (demotions).
Model kontingensi yang lain, Path-Goal Theory, berpendapat bahwa efektifitas pemimpin ditentukan oleh interaksi antara tingkah laku pemimpin dengan karakteristik situasi (House 1971). Menurut House, tingkah laku pemimpin dapat dikelompokkan dalam 4 kelompok: supportive leadership (menunjukkan perhatian terhadap kesejahteraan bawahan dan menciptakan iklim kerja yang bersahabat), directive leadership (mengarahkan bawahan untuk bekerja sesuai dengan peraturan, prosedur dan petunjuk yang ada), participative leadership (konsultasi dengan bawahan dalam pengambilan keputusan) dan achievement-oriented leadership (menentukan tujuan organisasi yang menantang dan menekankan perlunya kinerja yang memuaskan). Menurut Path-Goal Theory, dua variabel situasi yang sangat menentukan efektifitas pemimpin adalah karakteristik pribadi para bawahan/karyawan dan lingkungan internal organisasi seperti misalnya peraturan dan prosedur yang ada.
Walaupun model kepemimpinan kontingensi dianggap lebih sempurna dibandingkan modelmodel sebelumnya dalam memahami aspek kepemimpinan dalam organisasi, namun demikian model ini belum dapat menghasilkan klarifikasi yang jelas tentang kombinasi yang paling efektif antara karakteristik pribadi, tingkah laku pemimpin dan variabel situasional.

5)      Model Kepemimpinan Transformasional
(Model of Transformational Leadership) Model kepemimpinan transformasional merupakan model yang relatif baru dalam studi-studi kepemimpinan. Burns (1978) merupakan salah satu penggagas yang secara eksplisit mendefinisikan kepemimpinan transformasional. Menurutnya, untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang model kepemimpinan transformasional, model ini perlu dipertentangkan dengan model kepemimpinan transaksional. Kepemimpinan transaksional didasarkan pada otoritas birokrasi dan legitimasi di dalam organisasi. Pemimpin transaksional pada hakekatnya menekankan bahwa seorang pemimpin perlu menentukan apa yang perlu dilakukan para bawahannya untuk mencapai tujuan organisasi. Disamping itu, pemimpin transaksional cenderung memfokuskan diri pada penyelesaian tugas-tugas organisasi. Untuk memotivasi agar bawahan melakukan tanggungjawab mereka, para pemimpin transaksional sangat mengandalkan pada sistem pemberian penghargaan dan hukuman kepada bawahannya.
Sebaliknya, Burns menyatakan bahwa model kepemimpinan transformasional pada hakekatnya menekankan seorang pemimpin perlu memotivasi para bawahannya untuk melakukan tanggungjawab mereka lebih dari yang mereka harapkan. Pemimpin transformasional harus mampu mendefinisikan, mengkomunikasikan dan mengartikulasikan visi organisasi, dan bawahan harus menerima dan mengakui kredibilitas pemimpinnya.
Hater dan Bass (1988) menyatakan bahwa "the dynamic of transformational leadership involve strong personal identification with the leader, joining in a shared vision of the future, or going beyond the self-interest exchange of rewards for compliance". Dengan demikian, pemimpin transformasional merupakan pemimpin yang karismatik dan mempunyai peran sentral dan strategis dalam membawa organisasi mencapai tujuannya. Pemimpin transformasional juga harus mempunyai kemampuan untuk menyamakan visi masa depan dengan bawahannya, serta mempertinggi kebutuhan bawahan pada tingkat yang lebih tinggi dari pada apa yang mereka butuhkan. Menurut Yammarino dan Bass (1990), pemimpin transformasional harus mampu membujuk para bawahannya melakukan tugas-tugas mereka melebihi kepentingan mereka sendiri demi kepentingan organisasi yang lebih besar.
Yammarino dan Bass (1990) juga menyatakan bahwa pemimpin transformasional mengartikulasikan visi masa depan organisasi yang realistik, menstimulasi bawahan dengan cara yang intelektual, dan menaruh parhatian pada perbedaan-perbedaan yang dimiliki oleh bawahannya. Dengan demikian, seperti yang diungkapkan oleh Tichy and Devanna (1990), keberadaan para pemimpin transformasional mempunyai efek transformasi baik pada tingkat organisasi maupun pada tingkat individu.
Dalam buku mereka yang berjudul "Improving Organizational Effectiveness through Transformational Leadership", Bass dan Avolio (1994) mengemukakan bahwa kepemimpinan transformasional mempunyai empat dimensi yang disebutnya sebagai "the Four I's". Dimensi yang pertama disebutnya sebagai idealized influence (pengaruh ideal). Dimensi yang pertama ini digambarkan sebagai perilaku pemimpin yang membuat para pengikutnya mengagumi, menghormati dan sekaligus mempercayainya.
Dimensi yang kedua disebut sebagai inspirational motivation (motivasi inspirasi). Dalam dimensi ini, pemimpin transformasional digambarkan sebagai pemimpin yang mampu mengartikulasikan pengharapan yang jelas terhadap prestasi bawahan, mendemonstrasikan komitmennya terhadap seluruh tujuan organisasi, dan mampu menggugah spirit tim dalam organisasi melalui penumbuhan entusiasme dan optimisme.
Dimensi yang ketiga disebut sebagai intellectual stimulation (stimulasi intelektual). Pemimpin transformasional harus mampu menumbuhkan ide-ide baru, memberikan solusi yang kreatif terhadap permasalahan-permasalahan yang dihadapi bawahan, dan memberikan motivasi kepada bawahan untuk mencari pendekatan-pendekatan yang baru dalam melaksanakan tugas-tugas organisasi.
Dimensi yang terakhir disebut sebagai individualized consideration (konsiderasi individu). Dalam dimensi ini, pemimpin transformasional digambarkan sebagai seorang pemimpin yang mau mendengarkan dengan penuh perhatian masukan-masukan bawahan dan secara khusus mau memperhatikan kebutuhan-kebutuhan bawahan akan pengembangan karir. Walaupun penelitian mengenai model transformasional ini termasuk relatif baru, beberapa hasil penelitian mendukung validitas keempat dimensi yang dipaparkan oleh Bass dan Avilio di atas.
Banyak peneliti dan praktisi manajemen yang sepakat bahwa model kepemimpinan transformasional merupakan konsep kepemimpinan yang terbaik dalam menguraikan karakteristik pemimpin (Sarros dan Butchatsky 1996). Konsep kepemimpinan transformasional ini mengintegrasikan ide-ide yang dikembangkan dalam pendekatan-pendekatan watak (trait), gaya (style) dan kontingensi, dan juga konsep kepemimpinan transformasional menggabungkan dan menyempurnakan konsep-konsep terdahulu yang dikembangkan oleh ahli-ahli sosiologi (seperti misalnya Weber 1947) dan ahli-ahli politik (seperti misalnya Burns 1978).
Beberapa ahli manajemen menjelaskan konsep-konsep kepimimpinan yang mirip dengan kepemimpinan transformasional sebagai kepemimpinan yang karismatik, inspirasional dan yang mempunyai visi (visionary). Meskipun terminologi yang digunakan berbeda, namun fenomenafenomana kepemimpinan yang digambarkan dalam konsep-konsep tersebut lebih banyak persamaannya daripada perbedaannya. Bryman (1992) menyebut kepemimpinan transformasional sebagai kepemimpinan baru (the new leadership), sedangkan Sarros dan Butchatsky (1996) menyebutnya sebagai pemimpin penerobos (breakthrough leadership).
Disebut sebagai penerobos karena pemimpim semacam ini mempunyai kemampuan untuk membawa perubahan-perubahan yang sangat besar terhadap individu-individu maupun organisasi dengan jalan: memperbaiki kembali (reinvent) karakter diri individu-individu dalam organisasi ataupun perbaikan organisasi, memulai proses penciptaan inovasi, meninjau kembali struktur, proses dan nilai-nilai organisasi agar lebih baik dan lebih relevan, dengan cara-cara yang menarik dan menantang bagi semua pihak yang terlibat, dan mencoba untuk merealisasikan tujuan-tujuan organisasi yang selama ini dianggap tidak mungkin dilaksanakan.
Pemimpin penerobos memahami pentingnya perubahan-perubahan yang mendasar dan besar dalam kehidupan dan pekerjaan mereka dalam mencapai hasil-hasil yang diinginkannya. Pemimpin penerobos mempunyai pemikiran yang metanoiac, dan dengan bekal pemikiran ini sang pemimpin mampu menciptakan pergesaran paradigma untuk mengembangkan praktekpraktek organisasi yang sekarang dengan yang lebih baru dan lebih relevan. Metanoia berasal dari kata Yunani meta yang berarti perubahan, dan nous/noos yang berarti pikiran.
Dengan perkembangan globalisasi ekonomi yang makin nyata, kondisi di berbagai pasar dunia makin ditandai dengan kompetisi yang sangat tinggi (hyper-competition). Tiap keunggulan daya saing perusahaan yang terlibat dalam permainan global (global game) menjadi bersifat sementara (transitory). Oleh karena itu, perusahaan sebagai pemain dalam permainan global harus terus menerus mentransformasi seluruh aspek manajemen internal perusahaan agar selalu relevan dengan kondisi persaingan baru. Pemimpin transformasional dianggap sebagai model pemimpin yang tepat dan yang mampu untuk terus-menerus meningkatkan efisiensi, produktifitas, dan inovasi usaha guna meningkatkan daya saing dalam dunia yang lebih bersaing.[2]
C.     KONSEP DASAR KEPEMIMPINAN
Dalam melakukan pembahasan mengenai komponen kepemimpinan sebagai inti manajemen ada beberapa hal yang akan dijelaskan bahwa dalam upaya untuk membuktikan kebenaran pendapat yang mengatakan bahwa kepemimpinan merupakan inti manajemen, dua definisi perlu dijadikan tolak berpikir, yaitu:
1)      Kepemimpinan adalah sebuah kemampuan dan seni memperoleh hasil melaui kegiatan dengan mempengaruhi orang lain dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.
2)      Kepemimpinan merupakan kemampuan mempengaruhi orang lain dalam hal ini para bawahan sehingga mau dan mampu melakukan kegiatan tertentu meskipun secara pribadi hal tersebut mungkin tidak disenanginya.
Dari uraian diatas terlihat dengan jelas bahwa kemampuan manajerial seseorang tidak diukur dengan menggunakan kriteria kemampuan operasional karena kriteria tersebut diterapkan kepada mereka yang bertugas sebagai pelaksana melainkan dengan menggunakan tolak ukur kemampuan dan keterampilan mempengaruhi orang lain yaitu para bawahan masing-masing agar mereka bertindak, berperilaku dan berkarya sedemikian rupa sehingga mau dan mampu memberikan kontribusi yang optimal, bahkan kalau mungkin maksimal, demi tercapainya tujuan dan berbagai sasaran yang telah ditentukan ataun tetapkan sebelumnya.
Perwujudan paling nyata dari kemampuan memimpin terlihat pada ketangguhan seseorang menyelenggarakan berbagai fungsi organik yang menjadi tanggung jawabnya. Artinya, sesuai dengan tingkat jabatan yang dipangkunya dalam organisasi, seorang manajer dapat dikatakan menjadi pimpinan yang efekti jika mampu:
1)      Menentukan strategi yang tepat.
2)      Menjadi perencana yang tangguh.
3)      Menjadi organisator yang cekatan.
4)      Motivator yang efektif.
5)      Pengawas yang objektif dan rasional.
6)      Penilai yang tidak terpengaruh oleh p[ertimbangan yang subjektif atau rasional.
Kesemuanya itu tercermin pada kemampuan, disiplin, loyalitas, efisiensi, efektivitas,, dan produktivitas kerja para bawahannya dan satuan kerja yang dipimpinnya. Dalam bahasa yang populer dapat dikatakan bahwa ukurab keberhasilan pimpinan adalah kemampuan menggunakan otak bukan otot.
Hunt dan osborn dalam Kast dan James E.  Rosenzweig (2002: 515), menggambarkan dua jenis kepemimpinan sebagai berikut.
1)      Kepemimpinan yang dibutuhkan adalah kepemimpinan yang ditentukan oleh peran pemimpin dan secara konseptual sama dengan perilaku supervisory standart dan kekepalan (hadship).
2)      Pemimpin bebas (disctionary leadership), melibatkan intervensi pemimpin di luar yang ditentukan oleh perannya. Konotasi ini menekankan peranan pemimpin dalam menjelaskan respon perilaku yang lebih daripada yang rutin.[3]

D.    PRINSIP DAN KEAHLIAN KEPEMIMPINAN
Pembahasan dalam kaitan prinsip dan keahlian kepemimpinan akan diadakan pembahasan sebagai berikut:
1.      Prinsip-prinsip kepemimpinan
Dalam membicarakan prinsip-prinsip kepemimpinan mengikuti pendapat Kaizen. Terminologi Kaizen secara harfiah berarti perbaikan. Terminologi Kaizen dari bahasa jepang. Kombinasi dari huruf Kai, berarti perubahan dan Zen, berarti baik. Di Barat kata Kaizen sebagai konsep manajemen berarti perbaikan terus-menerus. Kaizen adalah konsep filsafat Jepang tetapi diterima oleh Barat seghingga menciptakan kultur yang sangat berpengaruh yang menggabungkan berbagaoi keunggulan dan manfaat kerja sama tim dalam Kaizen dengan kekuatan indibidual dalam masyarakat Barat.
Menurut Barnes (1998) mengatakan seorang pemimpin  dalam tim Kaizen memfokuskan perhatiannya pertama kepada manusia  baru kemudian kepada hasilnya, sehingga tanggung jawab  pemimpin merupakan kebalikan dari tugas supervisor.
Prinsip kepemimpinan Kaizen menurut Barnes (1998: 29-35) dikemukakan dengan pertimbangan bahwa Kaizen memiliki sepuluh prinsip, yaitu:
1)      Berfokus pada pelanggan.
Fokus utama Kaizen adalah produk, tetapi tujuan terpenting kepuasan pelanggan yang lebih tinggi.
2)      Mengadakan peningkatan secara terus-menerus.
Sudah menjadi sifat alamiah suatu tugas dulaksanakan dengan sukses, maka kita pengalihan perhatian pada sesuatu yang baru.
3)      Mengakui masalah secara terbuka.
Keterbukaan sebagai kekuatan yang bisa mengendalikan dan mengatasi berbagaoi masalah dengan cepat, dan juga dengan sama secepatnya dapat mewujudkan kemampuan.
4)      Mempromosikan keterbukaan, bagi organisasi tradisional, ilmu pengetahuan adalah kekuasaan pribadi.
Tetapi bagi para anggota Kaizen, ilmu adalah untuk salimg dibagikan dan hubungan komunikasi yang mendukungnya adalah sumber efisiensi yang lebih besar.
5)      Menciptakan tim kerja.
Dalam organisasi Kaizen tim adalah bahan bangunan dasar yang membentuk struktur organisasi.
6)      Memanajemeni proyek melalui tim fungsional silang.
Sudah menjadi persyaratan Kaizen dan dalam organisasi yang dipengaruhi oleh Kaizen bahwa kegiatan yang direncanakan dan dilaksanakan menggunakan sumber daya antar departemen atau fungsional silang, bahkan sumber daya yang digunakan berasal dari luar perusahaan.
7)      Memberikan proses hubungan yang benar.
Dalam organisasi Kaizen tidak menyukai hubungan saling bermusuhan dan penuh kontrovesi yang terjadi dalam perusahaan secara murni berpusat pada hal-hal yang memiliki kultur yang saling menyalahkan.
8)      Mengembangkan disiplin pribadi.
Disiplin tempat kerja merupakan sifat alamiah dan menuntut pengorbanan pribadi untuk menciptakan suasana harmonis dengan rekan sekerja didalam tim dan prinsip-prinsip utama perusahaan, sehingga sifat individual yang penting bisa tetap terjaga, sehingga bersiap-siap untuk meningkatkan perusahaan.
9)      Memberikan informasi pada karyawan.
Informasi merupakan hal yang penting dalam perusahaan Kaizen. Para pemimpin tim dan para manajer mengakui bahwa karyawan tidak dapat diharapkan untuk berpartisipasi melebihi tugas sehari-hari mereka
10)   Memberikan wewenang setiap karyawan.\
Melalui pelatihan berbagai keahlian, dorongan semangat, tanggung jawab pengambilan keputusan, akses sumber data dan anggaran, timbal balik reputasi perusahaan, dan penghargaan, maka para karyawan Kaizen memilih kekuatan untuk cara mempengaruhi urusan diri mereka sendiri dan urusan perusahaan.
2.      Keahlian Pemimpin
Margarison dan McCann dalam Barnes (1998: 108-110) menawarkan sembilan kunci aktivitas yang merupakan tugas penting untuk diberikan pada para anggota tim dan dimanajemeni oleh tim tersebut agar mereka dapat berjalan secara efektif. Kesembilan kunci aktivitas tersebut, yaitu:
1)      Menasihati.
2)      Menginovasi.
3)      Mempromosikan.
4)      Mengembangkan.
5)      Mengorganisasikan.
6)      Memproduksi.
7)      Mengimpeksi.
8)      Memelihara.
9)      Menggabungkan.
Dengan mengerti sembilan kunci ini, maka seorang pemimpin tim yang sepenuhnya memahami tentang kesukaan kompetensi, kekuatan dan kelemahan para angggotanya bisa memberikan berbagai peran dan tanggung jawab pada manusia yang mampu menangani dengan cara baik. Dengan demikian, menggantikan cara kerja tim yang asal-asalan dengan pendekatan yang lebih memperhitungkan dan lebih seimbang untuk menyesuaikan manusia dengan prosesnya.
Menurut Barnes (1998) mengatakan seorang pemimpin  dalam tim Kaizen memfokuskan perhatiannya pertama kepada manusia  baru kemudian kepada hasilnya, sehingga tanggung jawab  pemimpin merupakan kebalikan dari tugas supervisor. Terminologi Kaizen secara harfiah berarti perbaikan. Terminologi Kaizen dari bahasa jepang. Kombinasi dari huruf Kai, berarti perubahan dan Zen, berarti baik. Di Barat kata Kaizen sebagai konsep manajemen berarti perbaikan terus-menerus. Kaizen adalah konsep filsafat Jepang tetapi diterima oleh Barat seghingga menciptakan kultur yang sangat berpengaruh yang menggabungkan berbagaoi keunggulan dan manfaat kerja sama tim dalam Kaizen dengan kekuatan indibidual dalam masyarakat Barat. Secara singkat seorang pemimpin pendekatan Kaizen harus melakukan beberapa hal, yaitu:
1)      Memperkuat tim sebagai bahan pembangunan yang fundamental dalam struktur organisasi.
2)      Menggabungkan aspek positif individualisme dari berbagai manfaat besar tentang organisasi.
3)      Berfokus pada detaiol dalam mengimplementasikan gambaran besar tentang organisasi.
4)      Menerima tanggung jawab pribadi untuk selalu mengidentifikasikan antara penyebab masalah.
5)      Membangun hubungan pribadi yang kuat.
6)      Menjaga agar pikiran tetap terbuka terhadap kritikdan nasihat konstruktif.
7)      Memelohara sikap yang origresif dan berpandangan masa depan.
8)      Bersedia menerima tanggung jawab dan mengituti pelatihan.
9)      Bangga dan menghargai kerja timmnya.
10)  Membuat pembaruan kebijakan yang sudah diterima serta mendukung inovasi dan kreatifitas.[4]

E.     Fungsi Kepemimpinan
Kepemimpinan yang efektif hanya akan terwujud apabila dijalankan sesuai dengan fungsinya. Fungsi kepemimpinan itu berhubungan langsung dengan situasi sosial dalam kehidupan kelompok/organisasi masing-masing, yang mengisyaratkan bahwa setiap pemimpin berada di dalam dan bukan dluar situasi itu. Pemimpin harus berusaha agar menjadi bagian didalam situasi sosial kelompok/organisasinya.
Fungsi kepemimpinan memiliki dua dimensi sebagai berikut:
1)      Dimensi yang berkenaan dengan tingkat kemampuan mengarahkan (direction)  dalam tindakan atau aktivitas pemimpin, yang terlihat pada tanggapan orang-orang yang dipimpinnya.
2)      Dimensi yang berkenaan dengan tingkat dukungan (support) atau keterlibatan orang-orang yang dipimpin dalam melaksanakan tugas-tugas pokok kelompok/organisasi, yang dijabarkan dan dimanifestasikan melaui keputusan-keputusan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan pemimpin.
Berdasarkan kedua dimensi itu, selanjutnya secara operasional dapat dibedakan lima fungsi pokok kepemimpinan, kelima kepemimpinan itu adalah:
1)      Fungsi Instruktif
Fungsi ini berlangsung dan bersifat kumunikasi satu arah. Pemimpin sebagai pengambil keputusan berfungsi memerintahkan pelaksanaannya pada orang-orang yang dipimpin. Pemimpin sebagai komunikator merupakan pihak yang menentukan apa (isi perintah), bagaimana (cara mengerjakan perintah) agar keputusan dapat diwujudkan secara efektif. Fungsi orang yang dipimpin (anggota kelompok/organisasi) hanyalah melaksanakan perintah. Inisiatif tentang segala sesuatu yang ada kaitannya dengan perintah itu, sepenuhnya merupakan fungsi pemimpin.
2)      Fungsi Konsultatif
Fungsi ini berlangsung dan bersifat komunikasi dua arah, meskipun pelaksanaannya sangat tergantung pada pihak pemimpin. Pada tahap pertama dalam usaha menetapkan keputusan, pemimpin kerap kali memerlukan bahan pertimbangan, yang mengharuskannya berkonsultasi dengan orang-orang yang dipimpinnya. Konsultasi itu dapat dilakukannya secara terbatas hanya dengan orang-orang tertentu saja, yang dunulainya mempunyai berbagai bahan informasi yang diperlukannya dalam menetapkan keputusan. Di samping itu mungkin pula konsultasi itu dilakukannya untuk mendengarkan pendapat dan saran, apabila suatu keputusan yang direncanakannya ditetapkan. Selanjutnya konsultasi dapat pula dilakukan secara meluas melalui pertemuan dengan sebagian besar dilakukan apabila keputusan yang akan ditetapkan sifatnya sangat prinsipiil (penting), baik bagi kelompoknya/organisasi meupun sebagian besar/seluruh anggotanya.
3)      Fungsi Partisipasi
Fungsi ini tidak berlangsung dan bersifat dua arah, tetapi juga berwujud pelaksanaan hubungan manusia yang efektif, antara pemimpin dengan da sesama orang yang dipimpin. Dalam menjalankan fungsi ini pemimpin berusaha mengaktifkan orang-orang yang dipimpinnya, baik dalam keikutsertaan mengambil keputusan maupun dalam melaksanakannya. Setiap anggota kelmpoknya memperoleh kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam melaksanakan kegiatan yang dijabarkan dari tugas-tugas pokok, sesuai dengan posisi/jabatan masing-masing. Partisipasi tidak berarti bebas berbuat semaunya, tetapi dilakukan secara terkendali dan terarah berupa kerja sama dengan tidak mencampuri atau mengambil tugas pokok orang lain.
4)      Fungsi Delegasi
Fungsi ini dilaksanakan dengan memberikan pelimpahan wewenang membuat/menetapkan keputusan, baik melalui persetujuan maupun tanpa persetujuan dari pimpinan. Fungsi ini mengharuskan pemimpin memilah-milah tugas pokok organisasinya dan mengevaluasi yang dapat dan tidak dapat dilimpahkan pada orang-orang yang dipercayainya. Fungsi delegasi pada dasarnya kepercayaan. Pemimpin harus bersedia dan dapat mempercayai orang-orang lain, sesuai dengan posisi/jabatannya, apabila diberi/mendapat pelimpahan wewenang. Sedang penerima delegasi harus mampu memelihara kepercayaan itu, dengan melaksanakannya secara bertanggung jawab.
5)      Fungsi Pengendalian
Fungsi ini cenderung bersifat kumunikasi satu arah, meskipun tidak mustahil untuk dilakukan dengan cara komunikasi dua arah. Fungsi pengendalian bermaksud bahwa kepemimpinan yang sukses/efektif mampu mengatur aktivitas anggotanya secara terarah dan dalam koordinasi yang efektif, sehingga memungkinkan tercapainya tujuan bersama secara maksimal. Sehubungan dengan itu berarti fungsi pengendalian dapat diwujudkan melalui kegiatan bimbingan pengarahan, koordinasi, dan pengawasan. Dalam kegiatan tersebut pemimpin harus aktif, namun tidak mustahil untuk dilakukan dilakukan dengan mengikutsertakan anggota kelompok/organisasinya.[5]



[1] Daryanto, Arief, and Heny KS Daryanto. "Model Kepemimpinan dan Pemimpin Agribisnis di Masa Depan." Magister Manajemen Agribisnis UGM, Yogyakarta: http://www. geocities. com/mma5ugm/ModelKepemimpinanAgrib isnis. pdf 12 (2008): 12.

[2] Daryanto, Arief, and Heny KS Daryanto. "Model Kepemimpinan dan Pemimpin Agribisnis di Masa Depan." Magister Manajemen Agribisnis UGM, Yogyakarta: http://www. geocities. com/mma5ugm/ModelKepemimpinanAgrib isnis. pdf 12 (2008): 12.

[3] Nawawi, Ismail U. 2013. Budaya Organisasi, Kepemimpinan & Kinerja. Jakarta: PRENADAMEDIA GROUP
[4] Nawawi, Ismail U. 2013. Budaya Organisasi, Kepemimpinan & Kinerja. Jakarta: PRENADAMEDIA GROUP
[5] Nawawi, Hadari dan Hadari, Martini. 1993. KEPEMIMPINAN YANG EFEKTIF. Yogyakarta: GADJAH MADA UNIVERSITY PRESS.