A.
Pengertian
Kepemimpinan (Leadership)
Stogdill (1974) menyimpulkan bahwa
banyak sekali definisi mengenai kepemimpinan. Hal ini dikarenakan banyak sekali
orang yang telah mencoba mendefinisikan konsep kepemimpinan tersebut. Namun demikian,
semua definisi kepemimpinan yang ada mempunyai beberapa unsur yang sama.
Menurut Sarros dan Butchatsky (1996), "leadership is defined as the
purposeful behaviour of influencing others to contribute to a commonly agreed
goal for the benefit of individual as well as the organization or common
good". Menurut definisi tersebut, kepemimpinan dapat didefinisikan sebagai
suatu perilaku dengan tujuan tertentu untuk mempengaruhi aktivitas para anggota
kelompok untuk mencapai tujuan bersama yang dirancang untuk memberikan manfaat
individu dan organisasi. Sedangkan menurut Anderson (1988), "leadership
means using power to influence the thoughts and actions of others in such a way
that achieve high performance".
Berdasarkan definisi-definisi di atas,
kepemimpinan memiliki beberapa implikasi. Pertama, kepemimpinan berarti
melibatkan orang atau pihak lain, yaitu para karyawan atau bawahan (followers).
Para karyawan atau bawahan harus memiliki kemauan untuk menerima arahan dari
pemimpin. Walaupun demikian, tanpa adanya karyawan atau bawahan, kepemimpinan
tidak akan ada juga. Para pemimpin dapat menggunakan bentuk-bentuk kekuasaan
atau kekuatan yang berbeda untuk mempengaruhi perilaku bawahan dalam berbagai
situasi.
Kedua, seorang pemimpin yang efektif
adalah seseorang yang dengan kekuasaannya (his or her power) mampu menggugah
pengikutnya untuk mencapai kinerja yang memuaskan. Menurut French dan Raven
(1968), kekuasaan yang dimiliki oleh para pemimpin dapat bersumber dari:
1) Reward
power, yang didasarkan atas persepsi bawahan bahwa pemimpin mempunyai kemampuan
dan sumberdaya untuk memberikan penghargaan kepada bawahan yang mengikuti
arahan-arahan pemimpinnya.
2) Coercive
power, yang didasarkan atas persepsi bawahan bahwa pemimpin mempunyai kemampuan
memberikan hukuman bagi bawahan yang tidak mengikuti arahan-arahan pemimpinnya
3) Legitimate
power, yang didasarkan atas persepsi bawahan bahwa pemimpin mempunyai hak untuk
menggunakan pengaruh dan otoritas yang dimilikinya.
4) Referent
power, yang didasarkan atas identifikasi (pengenalan) bawahan terhadap sosok
pemimpin. Para pemimpin dapat menggunakan pengaruhnya karena karakteristik
pribadinya, reputasinya atau karismanya.
5) Expert
power, yang didasarkan atas persepsi bawahan bahwa pemimpin adalah seeorang
yang memiliki kompetensi dan mempunyai keahlian dalam bidangnya.
Ketiga, kepemimpinan harus memiliki
kejujuran terhadap diri sendiri (integrity), sikap bertanggungjawab yang tulus
(compassion), pengetahuan (cognizance), keberanian bertindak sesuai dengan
keyakinan (commitment), kepercayaan pada diri sendiri dan orang lain
(confidence) dan kemampuan untuk meyakinkan orang lain (communication) dalam
membangun organisasi.
Walaupun kepemimpinan (leadership)
seringkali disamakan dengan manajemen (management), kedua konsep tersebut
berbeda. Perbedaan antara pemimpin dan manajer dinyatakan secara jelas oleh
Bennis and Nanus (1995). Pemimpin berfokus pada mengerjakan yang benar
sedangkan manajer memusatkan perhatian pada mengerjakan secara tepat
("managers are people who do things right and leaders are people who do
the right thing"). Kepemimpinan memastikan tangga yang kita daki bersandar
pada tembok secara tepat, sedangkan manajemen mengusahakan agar kita mendaki
tangga seefisien mungkin.[1]
B.
Model-Model
Kepemimpinan
Banyak studi mengenai kecakapan
kepemimpinan (leadership skills) yang dibahas dari berbagai perspektif yang
telah dilakukan oleh para peneliti. Analisis awal tentang kepemimpinan, dari
tahun 1900-an hingga tahun 1950-an, memfokuskan perhatian pada perbedaan
karakteristik antara pemimpin (leaders) dan pengikut/karyawan (followers).
Karena hasil penelitian pada saat periode tersebut menunjukkan bahwa tidak
terdapat satu pun sifat atau watak (trait) atau kombinasi sifat atau watak yang
dapat menerangkan sepenuhnya tentang kemampuan para pemimpin, maka perhatian
para peneliti bergeser pada masalah pengaruh situasi terhadap kemampuan dan
tingkah laku para pemimpin.
Studi-studi kepemimpinan selanjutnya
berfokus pada tingkah laku yang diperagakan oleh para pemimpin yang efektif.
Untuk memahami faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tingkah laku para
pemimpin yang efektif, para peneliti menggunakan model kontingensi (contingency
model). Dengan model kontingensi tersebut para peneliti menguji keterkaitan
antara watak pribadi, variabel-variabel situasi dan keefektifan pemimpin.
Studi-studi tentang kepemimpinan pada
tahun 1970-an dan 1980-an, sekali lagi memfokuskan perhatiannya kepada
karakteristik individual para pemimpin yang mempengaruhi keefektifan mereka dan
keberhasilan organisasi yang mereka pimpin. Hasil-hasil penelitian pada periode
tahun 1970-an dan 1980-an mengarah kepada kesimpulan bahwa pemimpin dan
kepemimpinan adalah persoalan yang sangat penting untuk dipelajari (crucial),
namun kedua hal tersebut disadari sebagai komponen organisasi yang sangat
komplek.
Dalam perkembangannya, model yang
relatif baru dalam studi kepemimpinan disebut sebagai model kepemimpinan
transformasional. Model ini dianggap sebagai model yang terbaik dalam
menjelaskan karakteristik pemimpin. Konsep kepemimpinan transformasional ini
mengintegrasikan ide-ide yang dikembangkan dalam pendekatan watak, gaya dan
kontingensi.
Berikut ini akan dibahas tentang
perkembangan pemikiran ahli-ahli manajemen mengenai model-model kepemimpinan
yang ada dalam literatur.
1)
Model
Watak Kepemimpinan (Traits Model of Leadership)
Pada umumnya studi-studi kepemimpinan pada tahap
awal mencoba meneliti tentang watak individu yang melekat pada diri para
pemimpin, seperti misalnya: kecerdasan, kejujuran, kematangan, ketegasan,
kecakapan berbicara, kesupelan dalam bergaul, status sosial ekonomi mereka dan
lain-lain (Bass 1960, Stogdill 1974).
Stogdill (1974) menyatakan bahwa terdapat enam
kategori faktor pribadi yang membedakan antara pemimpin dan pengikut, yaitu
kapasitas, prestasi, tanggung jawab, partisipasi, status dan situasi. Namun
demikian banyak studi yang menunjukkan bahwa faktor-faktor yang membedakan
antara pemimpin dan pengikut dalam satu studi tidak konsisten dan tidak
didukung dengan hasil-hasil studi yang lain. Disamping itu, watak pribadi
bukanlah faktor yang dominan dalam menentukan keberhasilan kinerja manajerial
para pemimpin. Hingga tahun 1950-an, lebih dari 100 studi yang telah dilakukan
untuk mengidentifikasi watak atau sifat personal yang dibutuhkan oleh pemimpin
yang baik, dan dari studi-studi tersebut dinyatakan bahwa hubungan antara
karakteristik watak dengan efektifitas kepemimpinan, walaupun positif, tetapi
tingkat signifikasinya sangat rendah (Stogdill 1970). Bukti-bukti yang ada
menyarankan bahwa "leadership is a relation that exists between persons in
a social situation, and that persons who are leaders in one situation may not
necessarily be leaders in other situation" (Stogdill 1970). Apabila
kepemimpinan didasarkan pada faktor situasi, maka pengaruh watak yang dimiliki
oleh para pemimpin mempunyai pengaruh yang tidak signifikan.
Kegagalan studi-studi tentang kepimpinan pada
periode awal ini, yang tidak berhasil meyakinkan adanya hubungan yang jelas
antara watak pribadi pemimpin dan kepemimpinan, membuat para peneliti untuk
mencari faktor-faktor lain (selain faktor watak), seperti misalnya faktor
situasi, yang diharapkan dapat secara jelas menerangkan perbedaan karakteristik
antara pemimpin dan pengikut.
2)
Model
Kepemimpinan Situasional (Model of Situasional Leadership)
Model kepemimpinan situasional merupakan
pengembangan model watak kepemimpinan dengan fokus utama faktor situasi sebagai
variabel penentu kemampuan kepemimpinan. Studistudi tentang kepemimpinan
situasional mencoba mengidentifikasi karakteristik situasi atau keadaan sebagai
faktor penentu utama yang membuat seorang pemimpin berhasil melaksanakan
tugas-tugas organisasi secara efektif dan efisien. Dan juga model ini membahas
aspek kepemimpinan lebih berdasarkan fungsinya, bukan lagi hanya berdasarkan watak
kepribadian pemimpin.
Hencley (1973) menyatakan bahwa faktor situasi lebih
menentukan keberhasilan seorang pemimpin dibandingkan dengan watak pribadinya.
Menurut pendekatan kepemimpinan situasional ini, seseorang bisa dianggap
sebagai pemimpin atau pengikut tergantung pada situasi atau keadaan yang
dihadapi. Banyak studi yang mencoba untuk mengidentifikasi karakteristik
situasi khusus yang bagaimana yang mempengaruhi kinerja para pemimpin. Hoy dan
Miskel (1987), misalnya, menyatakan bahwa terdapat empat faktor yang
mempengaruhi kinerja pemimpin, yaitu sifat struktural organisasi (structural
properties of the organisation), iklim atau lingkungan organisasi
(organisational climate), karakteristik tugas atau peran (role characteristics)
dan karakteristik bawahan (subordinate characteristics). Kajian model
kepemimpinan situasional lebih menjelaskan fenomena kepemimpinan dibandingkan
dengan model terdahulu. Namun demikian model ini masih dianggap belum memadai
karena model ini tidak dapat memprediksikan kecakapan kepemimpinan (leadership
skills) yang mana yang lebih efektif dalam situasi tertentu.
3)
Model
Pemimpin yang Efektif (Model of Effective Leaders)
Model kajian kepemimpinan ini memberikan informasi
tentang tipe-tipe tingkah laku (types of behaviours) para pemimpin yang
efektif. Tingkah laku para pemimpin dapat dikatagorikan menjadi dua dimensi,
yaitu struktur kelembagaan (initiating structure) dan konsiderasi
(consideration). Dimensi struktur kelembagaan menggambarkan sampai sejauh mana
para pemimpin mendefinisikan dan menyusun interaksi kelompok dalam rangka
pencapaian tujuan organisasi serta sampai sejauh mana para pemimpin
mengorganisasikan kegiatan-kegiatan kelompok mereka. Dimensi ini dikaitkan
dengan usaha para pemimpin mencapai tujuan organisasi. Dimensi konsiderasi
menggambarkan sampai sejauh mana tingkat hubungan kerja antara pemimpin dan
bawahannya, dan sampai sejauh mana pemimpin memperhatikan kebutuhan sosial dan
emosi bagi bawahan seperti misalnya kebutuhan akan pengakuan, kepuasan kerja
dan penghargaan yang mempengaruhi kinerja mereka dalam organisasi. Dimensi
konsiderasi ini juga dikaitkan dengan adanya pendekatan kepemimpinan yang
mengutamakan komunikasi dua arah, partisipasi dan hubungan manusiawi (human
relations).
Halpin (1966), Blake and Mouton (1985) menyatakan
bahwa tingkah laku pemimpin yang efektif cenderung menunjukkan kinerja yang
tinggi terhadap dua aspek di atas. Mereka berpendapat bahwa pemimpin yang
efektif adalah pemimpin yang menata kelembagaan organisasinya secara sangat
terstruktur, dan mempunyai hubungan yang persahabatan yang sangat baik, saling
percaya, saling menghargai dan senantiasa hangat dengan bawahannya. Secara
ringkas, model kepemimpinan efektif ini mendukung anggapan bahwa pemimpin yang
efektif adalah pemimpin yang dapat menangani kedua aspek organisasi dan manusia
sekaligus dalam organisasinya.
4)
Model
Kepemimpinan Kontingensi (Contingency Model)
Studi kepemimpinan jenis ini memfokuskan
perhatiannya pada kecocokan antara karakteristik watak pribadi pemimpin,
tingkah lakunya dan variabel-variabel situasional. Kalau model kepemimpinan
situasional berasumsi bahwa situasi yang berbeda membutuhkan tipe kepemimpinan
yang berbeda, maka model kepemimpinan kontingensi memfokuskan perhatian yang
lebih luas, yakni pada aspek-aspek keterkaitan antara kondisi atau variabel
situasional dengan watak atau tingkah laku dan kriteria kinerja pemimpin (Hoy
and Miskel 1987).
Model kepemimpinan Fiedler (1967)
disebut sebagai model kontingensi karena model tersebut beranggapan bahwa
kontribusi pemimpin terhadap efektifitas kinerja kelompok tergantung pada cara
atau gaya kepemimpinan (leadership style) dan kesesuaian situasi (the
favourableness of the situation) yang dihadapinya. Menurut Fiedler, ada tiga
faktor utama yang mempengaruhi kesesuaian situasi dan ketiga faktor ini
selanjutnya mempengaruhi keefektifan pemimpin. Ketiga faktor tersebut adalah
hubungan antara pemimpin dan bawahan (leader-member relations), struktur tugas
(the task structure) dan kekuatan posisi (position power).
Hubungan antara pemimpin dan bawahan
menjelaskan sampai sejauh mana pemimpin itu dipercaya dan disukai oleh bawahan,
dan kemauan bawahan untuk mengikuti petunjuk pemimpin. Struktur tugas
menjelaskan sampai sejauh mana tugas-tugas dalam organisasi didefinisikan secara
jelas dan sampai sejauh mana definisi tugas-tugas tersebut dilengkapi dengan
petunjuk yang rinci dan prosedur yang baku. Kekuatan posisi menjelaskan sampai
sejauh mana kekuatan atau kekuasaan yang dimiliki oleh pemimpin karena
posisinya diterapkan dalam organisasi untuk menanamkan rasa memiliki akan arti
penting dan nilai dari tugas-tugas mereka masing-masing. Kekuatan posisi juga
menjelaskan sampai sejauh mana pemimpin (misalnya) menggunakan otoritasnya
dalam memberikan hukuman dan penghargaan, promosi dan penurunan pangkat
(demotions).
Model kontingensi yang lain, Path-Goal
Theory, berpendapat bahwa efektifitas pemimpin ditentukan oleh interaksi antara
tingkah laku pemimpin dengan karakteristik situasi (House 1971). Menurut House,
tingkah laku pemimpin dapat dikelompokkan dalam 4 kelompok: supportive
leadership (menunjukkan perhatian terhadap kesejahteraan bawahan dan
menciptakan iklim kerja yang bersahabat), directive leadership (mengarahkan
bawahan untuk bekerja sesuai dengan peraturan, prosedur dan petunjuk yang ada),
participative leadership (konsultasi dengan bawahan dalam pengambilan
keputusan) dan achievement-oriented leadership (menentukan tujuan organisasi
yang menantang dan menekankan perlunya kinerja yang memuaskan). Menurut
Path-Goal Theory, dua variabel situasi yang sangat menentukan efektifitas
pemimpin adalah karakteristik pribadi para bawahan/karyawan dan lingkungan
internal organisasi seperti misalnya peraturan dan prosedur yang ada.
Walaupun model kepemimpinan kontingensi
dianggap lebih sempurna dibandingkan modelmodel sebelumnya dalam memahami aspek
kepemimpinan dalam organisasi, namun demikian model ini belum dapat
menghasilkan klarifikasi yang jelas tentang kombinasi yang paling efektif
antara karakteristik pribadi, tingkah laku pemimpin dan variabel situasional.
5)
Model
Kepemimpinan Transformasional
(Model of Transformational Leadership)
Model kepemimpinan transformasional merupakan model yang relatif baru dalam
studi-studi kepemimpinan. Burns (1978) merupakan salah satu penggagas yang
secara eksplisit mendefinisikan kepemimpinan transformasional. Menurutnya,
untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang model kepemimpinan
transformasional, model ini perlu dipertentangkan dengan model kepemimpinan
transaksional. Kepemimpinan transaksional didasarkan pada otoritas birokrasi
dan legitimasi di dalam organisasi. Pemimpin transaksional pada hakekatnya
menekankan bahwa seorang pemimpin perlu menentukan apa yang perlu dilakukan
para bawahannya untuk mencapai tujuan organisasi. Disamping itu, pemimpin
transaksional cenderung memfokuskan diri pada penyelesaian tugas-tugas
organisasi. Untuk memotivasi agar bawahan melakukan tanggungjawab mereka, para
pemimpin transaksional sangat mengandalkan pada sistem pemberian penghargaan
dan hukuman kepada bawahannya.
Sebaliknya, Burns menyatakan bahwa model
kepemimpinan transformasional pada hakekatnya menekankan seorang pemimpin perlu
memotivasi para bawahannya untuk melakukan tanggungjawab mereka lebih dari yang
mereka harapkan. Pemimpin transformasional harus mampu mendefinisikan,
mengkomunikasikan dan mengartikulasikan visi organisasi, dan bawahan harus
menerima dan mengakui kredibilitas pemimpinnya.
Hater dan Bass (1988) menyatakan bahwa
"the dynamic of transformational leadership involve strong personal
identification with the leader, joining in a shared vision of the future, or
going beyond the self-interest exchange of rewards for compliance". Dengan
demikian, pemimpin transformasional merupakan pemimpin yang karismatik dan
mempunyai peran sentral dan strategis dalam membawa organisasi mencapai
tujuannya. Pemimpin transformasional juga harus mempunyai kemampuan untuk
menyamakan visi masa depan dengan bawahannya, serta mempertinggi kebutuhan
bawahan pada tingkat yang lebih tinggi dari pada apa yang mereka butuhkan.
Menurut Yammarino dan Bass (1990), pemimpin transformasional harus mampu
membujuk para bawahannya melakukan tugas-tugas mereka melebihi kepentingan
mereka sendiri demi kepentingan organisasi yang lebih besar.
Yammarino dan Bass (1990) juga menyatakan
bahwa pemimpin transformasional mengartikulasikan visi masa depan organisasi
yang realistik, menstimulasi bawahan dengan cara yang intelektual, dan menaruh
parhatian pada perbedaan-perbedaan yang dimiliki oleh bawahannya. Dengan
demikian, seperti yang diungkapkan oleh Tichy and Devanna (1990), keberadaan
para pemimpin transformasional mempunyai efek transformasi baik pada tingkat
organisasi maupun pada tingkat individu.
Dalam buku mereka yang berjudul
"Improving Organizational Effectiveness through Transformational
Leadership", Bass dan Avolio (1994) mengemukakan bahwa kepemimpinan
transformasional mempunyai empat dimensi yang disebutnya sebagai "the Four
I's". Dimensi yang pertama disebutnya sebagai idealized influence
(pengaruh ideal). Dimensi yang pertama ini digambarkan sebagai perilaku
pemimpin yang membuat para pengikutnya mengagumi, menghormati dan sekaligus
mempercayainya.
Dimensi yang kedua disebut sebagai
inspirational motivation (motivasi inspirasi). Dalam dimensi ini, pemimpin
transformasional digambarkan sebagai pemimpin yang mampu mengartikulasikan
pengharapan yang jelas terhadap prestasi bawahan, mendemonstrasikan komitmennya
terhadap seluruh tujuan organisasi, dan mampu menggugah spirit tim dalam
organisasi melalui penumbuhan entusiasme dan optimisme.
Dimensi yang ketiga disebut sebagai
intellectual stimulation (stimulasi intelektual). Pemimpin transformasional
harus mampu menumbuhkan ide-ide baru, memberikan solusi yang kreatif terhadap
permasalahan-permasalahan yang dihadapi bawahan, dan memberikan motivasi kepada
bawahan untuk mencari pendekatan-pendekatan yang baru dalam melaksanakan
tugas-tugas organisasi.
Dimensi yang terakhir disebut sebagai
individualized consideration (konsiderasi individu). Dalam dimensi ini,
pemimpin transformasional digambarkan sebagai seorang pemimpin yang mau
mendengarkan dengan penuh perhatian masukan-masukan bawahan dan secara khusus
mau memperhatikan kebutuhan-kebutuhan bawahan akan pengembangan karir. Walaupun
penelitian mengenai model transformasional ini termasuk relatif baru, beberapa
hasil penelitian mendukung validitas keempat dimensi yang dipaparkan oleh Bass
dan Avilio di atas.
Banyak peneliti dan praktisi manajemen
yang sepakat bahwa model kepemimpinan transformasional merupakan konsep
kepemimpinan yang terbaik dalam menguraikan karakteristik pemimpin (Sarros dan
Butchatsky 1996). Konsep kepemimpinan transformasional ini mengintegrasikan
ide-ide yang dikembangkan dalam pendekatan-pendekatan watak (trait), gaya
(style) dan kontingensi, dan juga konsep kepemimpinan transformasional
menggabungkan dan menyempurnakan konsep-konsep terdahulu yang dikembangkan oleh
ahli-ahli sosiologi (seperti misalnya Weber 1947) dan ahli-ahli politik
(seperti misalnya Burns 1978).
Beberapa ahli manajemen menjelaskan konsep-konsep
kepimimpinan yang mirip dengan kepemimpinan transformasional sebagai
kepemimpinan yang karismatik, inspirasional dan yang mempunyai visi
(visionary). Meskipun terminologi yang digunakan berbeda, namun
fenomenafenomana kepemimpinan yang digambarkan dalam konsep-konsep tersebut
lebih banyak persamaannya daripada perbedaannya. Bryman (1992) menyebut
kepemimpinan transformasional sebagai kepemimpinan baru (the new leadership),
sedangkan Sarros dan Butchatsky (1996) menyebutnya sebagai pemimpin penerobos
(breakthrough leadership).
Disebut sebagai penerobos karena
pemimpim semacam ini mempunyai kemampuan untuk membawa perubahan-perubahan yang
sangat besar terhadap individu-individu maupun organisasi dengan jalan:
memperbaiki kembali (reinvent) karakter diri individu-individu dalam organisasi
ataupun perbaikan organisasi, memulai proses penciptaan inovasi, meninjau
kembali struktur, proses dan nilai-nilai organisasi agar lebih baik dan lebih
relevan, dengan cara-cara yang menarik dan menantang bagi semua pihak yang
terlibat, dan mencoba untuk merealisasikan tujuan-tujuan organisasi yang selama
ini dianggap tidak mungkin dilaksanakan.
Pemimpin penerobos memahami pentingnya
perubahan-perubahan yang mendasar dan besar dalam kehidupan dan pekerjaan
mereka dalam mencapai hasil-hasil yang diinginkannya. Pemimpin penerobos
mempunyai pemikiran yang metanoiac, dan dengan bekal pemikiran ini sang
pemimpin mampu menciptakan pergesaran paradigma untuk mengembangkan
praktekpraktek organisasi yang sekarang dengan yang lebih baru dan lebih
relevan. Metanoia berasal dari kata Yunani meta yang berarti perubahan, dan
nous/noos yang berarti pikiran.
Dengan perkembangan globalisasi ekonomi
yang makin nyata, kondisi di berbagai pasar dunia makin ditandai dengan
kompetisi yang sangat tinggi (hyper-competition). Tiap keunggulan daya saing
perusahaan yang terlibat dalam permainan global (global game) menjadi bersifat
sementara (transitory). Oleh karena itu, perusahaan sebagai pemain dalam
permainan global harus terus menerus mentransformasi seluruh aspek manajemen
internal perusahaan agar selalu relevan dengan kondisi persaingan baru.
Pemimpin transformasional dianggap sebagai model pemimpin yang tepat dan yang
mampu untuk terus-menerus meningkatkan efisiensi, produktifitas, dan inovasi
usaha guna meningkatkan daya saing dalam dunia yang lebih bersaing.[2]
C.
KONSEP
DASAR KEPEMIMPINAN
Dalam melakukan pembahasan mengenai
komponen kepemimpinan sebagai inti manajemen ada beberapa hal yang akan
dijelaskan bahwa dalam upaya untuk membuktikan kebenaran pendapat yang
mengatakan bahwa kepemimpinan merupakan inti manajemen, dua definisi perlu dijadikan
tolak berpikir, yaitu:
1) Kepemimpinan
adalah sebuah kemampuan dan seni memperoleh hasil melaui kegiatan dengan
mempengaruhi orang lain dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditentukan
sebelumnya.
2) Kepemimpinan
merupakan kemampuan mempengaruhi orang lain dalam hal ini para bawahan sehingga
mau dan mampu melakukan kegiatan tertentu meskipun secara pribadi hal tersebut
mungkin tidak disenanginya.
Dari uraian diatas terlihat dengan jelas
bahwa kemampuan manajerial seseorang tidak diukur dengan menggunakan kriteria
kemampuan operasional karena kriteria tersebut diterapkan kepada mereka yang
bertugas sebagai pelaksana melainkan dengan menggunakan tolak ukur kemampuan
dan keterampilan mempengaruhi orang lain yaitu para bawahan masing-masing agar
mereka bertindak, berperilaku dan berkarya sedemikian rupa sehingga mau dan
mampu memberikan kontribusi yang optimal, bahkan kalau mungkin maksimal, demi
tercapainya tujuan dan berbagai sasaran yang telah ditentukan ataun tetapkan
sebelumnya.
Perwujudan paling nyata dari kemampuan
memimpin terlihat pada ketangguhan seseorang menyelenggarakan berbagai fungsi
organik yang menjadi tanggung jawabnya. Artinya, sesuai dengan tingkat jabatan
yang dipangkunya dalam organisasi, seorang manajer dapat dikatakan menjadi pimpinan
yang efekti jika mampu:
1) Menentukan
strategi yang tepat.
2) Menjadi
perencana yang tangguh.
3) Menjadi
organisator yang cekatan.
4) Motivator
yang efektif.
5) Pengawas
yang objektif dan rasional.
6) Penilai
yang tidak terpengaruh oleh p[ertimbangan yang subjektif atau rasional.
Kesemuanya itu tercermin pada kemampuan,
disiplin, loyalitas, efisiensi, efektivitas,, dan produktivitas kerja para
bawahannya dan satuan kerja yang dipimpinnya. Dalam bahasa yang populer dapat
dikatakan bahwa ukurab keberhasilan pimpinan adalah kemampuan menggunakan otak
bukan otot.
Hunt dan osborn dalam Kast dan James
E. Rosenzweig (2002: 515), menggambarkan
dua jenis kepemimpinan sebagai berikut.
1) Kepemimpinan
yang dibutuhkan adalah kepemimpinan yang ditentukan oleh peran pemimpin dan
secara konseptual sama dengan perilaku supervisory
standart dan kekepalan (hadship).
2) Pemimpin
bebas (disctionary leadership),
melibatkan intervensi pemimpin di luar yang ditentukan oleh perannya. Konotasi
ini menekankan peranan pemimpin dalam menjelaskan respon perilaku yang lebih
daripada yang rutin.[3]
D.
PRINSIP
DAN KEAHLIAN KEPEMIMPINAN
Pembahasan dalam kaitan prinsip dan
keahlian kepemimpinan akan diadakan pembahasan sebagai berikut:
1.
Prinsip-prinsip
kepemimpinan
Dalam membicarakan prinsip-prinsip
kepemimpinan mengikuti pendapat Kaizen.
Terminologi Kaizen secara harfiah
berarti perbaikan. Terminologi Kaizen dari
bahasa jepang. Kombinasi dari huruf Kai,
berarti perubahan dan Zen, berarti
baik. Di Barat kata Kaizen sebagai
konsep manajemen berarti perbaikan terus-menerus. Kaizen adalah konsep filsafat Jepang tetapi diterima oleh Barat
seghingga menciptakan kultur yang sangat berpengaruh yang menggabungkan
berbagaoi keunggulan dan manfaat kerja sama tim dalam Kaizen dengan kekuatan indibidual dalam masyarakat Barat.
Menurut Barnes (1998) mengatakan seorang
pemimpin dalam tim Kaizen memfokuskan perhatiannya pertama kepada manusia baru kemudian kepada hasilnya, sehingga
tanggung jawab pemimpin merupakan
kebalikan dari tugas supervisor.
Prinsip kepemimpinan Kaizen menurut Barnes (1998: 29-35)
dikemukakan dengan pertimbangan bahwa Kaizen
memiliki sepuluh prinsip, yaitu:
1) Berfokus
pada pelanggan.
Fokus
utama Kaizen adalah produk, tetapi
tujuan terpenting kepuasan pelanggan yang lebih tinggi.
2) Mengadakan
peningkatan secara terus-menerus.
Sudah
menjadi sifat alamiah suatu tugas dulaksanakan dengan sukses, maka kita
pengalihan perhatian pada sesuatu yang baru.
3) Mengakui
masalah secara terbuka.
Keterbukaan
sebagai kekuatan yang bisa mengendalikan dan mengatasi berbagaoi masalah dengan
cepat, dan juga dengan sama secepatnya dapat mewujudkan kemampuan.
4) Mempromosikan
keterbukaan, bagi organisasi tradisional, ilmu pengetahuan adalah kekuasaan
pribadi.
Tetapi
bagi para anggota Kaizen, ilmu adalah
untuk salimg dibagikan dan hubungan komunikasi yang mendukungnya adalah sumber
efisiensi yang lebih besar.
5) Menciptakan
tim kerja.
Dalam
organisasi Kaizen tim adalah bahan
bangunan dasar yang membentuk struktur organisasi.
6) Memanajemeni
proyek melalui tim fungsional silang.
Sudah
menjadi persyaratan Kaizen dan dalam
organisasi yang dipengaruhi oleh Kaizen
bahwa kegiatan yang direncanakan dan dilaksanakan menggunakan sumber daya antar
departemen atau fungsional silang, bahkan sumber daya yang digunakan berasal
dari luar perusahaan.
7) Memberikan
proses hubungan yang benar.
Dalam
organisasi Kaizen tidak menyukai
hubungan saling bermusuhan dan penuh kontrovesi yang terjadi dalam perusahaan
secara murni berpusat pada hal-hal yang memiliki kultur yang saling
menyalahkan.
8) Mengembangkan
disiplin pribadi.
Disiplin
tempat kerja merupakan sifat alamiah dan menuntut pengorbanan pribadi untuk
menciptakan suasana harmonis dengan rekan sekerja didalam tim dan
prinsip-prinsip utama perusahaan, sehingga sifat individual yang penting bisa
tetap terjaga, sehingga bersiap-siap untuk meningkatkan perusahaan.
9) Memberikan
informasi pada karyawan.
Informasi
merupakan hal yang penting dalam perusahaan Kaizen.
Para pemimpin tim dan para manajer mengakui bahwa karyawan tidak dapat
diharapkan untuk berpartisipasi melebihi tugas sehari-hari mereka
10) Memberikan wewenang setiap karyawan.\
Melalui
pelatihan berbagai keahlian, dorongan semangat, tanggung jawab pengambilan
keputusan, akses sumber data dan anggaran, timbal balik reputasi perusahaan,
dan penghargaan, maka para karyawan Kaizen
memilih kekuatan untuk cara mempengaruhi urusan diri mereka sendiri dan urusan
perusahaan.
2.
Keahlian
Pemimpin
Margarison dan McCann dalam Barnes
(1998: 108-110) menawarkan sembilan kunci aktivitas yang merupakan tugas
penting untuk diberikan pada para anggota tim dan dimanajemeni oleh tim
tersebut agar mereka dapat berjalan secara efektif. Kesembilan kunci aktivitas
tersebut, yaitu:
1) Menasihati.
2) Menginovasi.
3) Mempromosikan.
4) Mengembangkan.
5) Mengorganisasikan.
6) Memproduksi.
7) Mengimpeksi.
8) Memelihara.
9) Menggabungkan.
Dengan mengerti sembilan kunci ini, maka
seorang pemimpin tim yang sepenuhnya memahami tentang kesukaan kompetensi,
kekuatan dan kelemahan para angggotanya bisa memberikan berbagai peran dan
tanggung jawab pada manusia yang mampu menangani dengan cara baik. Dengan
demikian, menggantikan cara kerja tim yang asal-asalan dengan pendekatan yang
lebih memperhitungkan dan lebih seimbang untuk menyesuaikan manusia dengan
prosesnya.
Menurut Barnes (1998) mengatakan seorang
pemimpin dalam tim Kaizen memfokuskan perhatiannya pertama kepada manusia baru kemudian kepada hasilnya, sehingga
tanggung jawab pemimpin merupakan
kebalikan dari tugas supervisor. Terminologi Kaizen secara harfiah berarti perbaikan. Terminologi Kaizen dari bahasa jepang. Kombinasi
dari huruf Kai, berarti perubahan dan
Zen, berarti baik. Di Barat kata Kaizen sebagai konsep manajemen berarti
perbaikan terus-menerus. Kaizen adalah
konsep filsafat Jepang tetapi diterima oleh Barat seghingga menciptakan kultur
yang sangat berpengaruh yang menggabungkan berbagaoi keunggulan dan manfaat
kerja sama tim dalam Kaizen dengan
kekuatan indibidual dalam masyarakat Barat. Secara singkat seorang pemimpin
pendekatan Kaizen harus melakukan
beberapa hal, yaitu:
1) Memperkuat
tim sebagai bahan pembangunan yang fundamental dalam struktur organisasi.
2) Menggabungkan
aspek positif individualisme dari berbagai manfaat besar tentang organisasi.
3) Berfokus
pada detaiol dalam mengimplementasikan gambaran besar tentang organisasi.
4) Menerima
tanggung jawab pribadi untuk selalu mengidentifikasikan antara penyebab
masalah.
5) Membangun
hubungan pribadi yang kuat.
6) Menjaga
agar pikiran tetap terbuka terhadap kritikdan nasihat konstruktif.
7) Memelohara
sikap yang origresif dan berpandangan masa depan.
8) Bersedia
menerima tanggung jawab dan mengituti pelatihan.
9) Bangga
dan menghargai kerja timmnya.
10) Membuat
pembaruan kebijakan yang sudah diterima serta mendukung inovasi dan
kreatifitas.[4]
E.
Fungsi
Kepemimpinan
Kepemimpinan yang efektif hanya akan
terwujud apabila dijalankan sesuai dengan fungsinya. Fungsi kepemimpinan itu
berhubungan langsung dengan situasi sosial dalam kehidupan kelompok/organisasi
masing-masing, yang mengisyaratkan bahwa setiap pemimpin berada di dalam dan
bukan dluar situasi itu. Pemimpin harus berusaha agar menjadi bagian didalam
situasi sosial kelompok/organisasinya.
Fungsi kepemimpinan memiliki dua dimensi
sebagai berikut:
1) Dimensi
yang berkenaan dengan tingkat kemampuan mengarahkan (direction) dalam tindakan
atau aktivitas pemimpin, yang terlihat pada tanggapan orang-orang yang
dipimpinnya.
2) Dimensi
yang berkenaan dengan tingkat dukungan (support)
atau keterlibatan orang-orang yang dipimpin dalam melaksanakan tugas-tugas
pokok kelompok/organisasi, yang dijabarkan dan dimanifestasikan melaui
keputusan-keputusan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan pemimpin.
Berdasarkan kedua dimensi itu,
selanjutnya secara operasional dapat dibedakan lima fungsi pokok kepemimpinan,
kelima kepemimpinan itu adalah:
1) Fungsi
Instruktif
Fungsi ini berlangsung dan bersifat
kumunikasi satu arah. Pemimpin sebagai pengambil keputusan berfungsi
memerintahkan pelaksanaannya pada orang-orang yang dipimpin. Pemimpin sebagai
komunikator merupakan pihak yang menentukan apa (isi perintah), bagaimana (cara
mengerjakan perintah) agar keputusan dapat diwujudkan secara efektif. Fungsi
orang yang dipimpin (anggota kelompok/organisasi) hanyalah melaksanakan
perintah. Inisiatif tentang segala sesuatu yang ada kaitannya dengan perintah
itu, sepenuhnya merupakan fungsi pemimpin.
2) Fungsi
Konsultatif
Fungsi ini berlangsung dan bersifat
komunikasi dua arah, meskipun pelaksanaannya sangat tergantung pada pihak
pemimpin. Pada tahap pertama dalam usaha menetapkan keputusan, pemimpin kerap
kali memerlukan bahan pertimbangan, yang mengharuskannya berkonsultasi dengan
orang-orang yang dipimpinnya. Konsultasi itu dapat dilakukannya secara terbatas
hanya dengan orang-orang tertentu saja, yang dunulainya mempunyai berbagai
bahan informasi yang diperlukannya dalam menetapkan keputusan. Di samping itu
mungkin pula konsultasi itu dilakukannya untuk mendengarkan pendapat dan saran,
apabila suatu keputusan yang direncanakannya ditetapkan. Selanjutnya konsultasi
dapat pula dilakukan secara meluas melalui pertemuan dengan sebagian besar
dilakukan apabila keputusan yang akan ditetapkan sifatnya sangat prinsipiil
(penting), baik bagi kelompoknya/organisasi meupun sebagian besar/seluruh
anggotanya.
3) Fungsi
Partisipasi
Fungsi ini tidak berlangsung dan
bersifat dua arah, tetapi juga berwujud pelaksanaan hubungan manusia yang
efektif, antara pemimpin dengan da sesama orang yang dipimpin. Dalam
menjalankan fungsi ini pemimpin berusaha mengaktifkan orang-orang yang
dipimpinnya, baik dalam keikutsertaan mengambil keputusan maupun dalam
melaksanakannya. Setiap anggota kelmpoknya memperoleh kesempatan yang sama
untuk berpartisipasi dalam melaksanakan kegiatan yang dijabarkan dari
tugas-tugas pokok, sesuai dengan posisi/jabatan masing-masing. Partisipasi
tidak berarti bebas berbuat semaunya, tetapi dilakukan secara terkendali dan
terarah berupa kerja sama dengan tidak mencampuri atau mengambil tugas pokok
orang lain.
4) Fungsi
Delegasi
Fungsi ini dilaksanakan dengan
memberikan pelimpahan wewenang membuat/menetapkan keputusan, baik melalui
persetujuan maupun tanpa persetujuan dari pimpinan. Fungsi ini mengharuskan
pemimpin memilah-milah tugas pokok organisasinya dan mengevaluasi yang dapat
dan tidak dapat dilimpahkan pada orang-orang yang dipercayainya. Fungsi
delegasi pada dasarnya kepercayaan. Pemimpin harus bersedia dan dapat
mempercayai orang-orang lain, sesuai dengan posisi/jabatannya, apabila
diberi/mendapat pelimpahan wewenang. Sedang penerima delegasi harus mampu
memelihara kepercayaan itu, dengan melaksanakannya secara bertanggung jawab.
5) Fungsi
Pengendalian
Fungsi ini cenderung bersifat kumunikasi
satu arah, meskipun tidak mustahil untuk dilakukan dengan cara komunikasi dua
arah. Fungsi pengendalian bermaksud bahwa kepemimpinan yang sukses/efektif
mampu mengatur aktivitas anggotanya secara terarah dan dalam koordinasi yang
efektif, sehingga memungkinkan tercapainya tujuan bersama secara maksimal.
Sehubungan dengan itu berarti fungsi pengendalian dapat diwujudkan melalui
kegiatan bimbingan pengarahan, koordinasi, dan pengawasan. Dalam kegiatan
tersebut pemimpin harus aktif, namun tidak mustahil untuk dilakukan dilakukan
dengan mengikutsertakan anggota kelompok/organisasinya.[5]
[1] Daryanto, Arief, and Heny KS Daryanto.
"Model Kepemimpinan dan Pemimpin Agribisnis di Masa Depan." Magister
Manajemen Agribisnis UGM, Yogyakarta: http://www. geocities.
com/mma5ugm/ModelKepemimpinanAgrib isnis. pdf 12 (2008): 12.
[2] Daryanto, Arief, and Heny KS Daryanto.
"Model Kepemimpinan dan Pemimpin Agribisnis di Masa Depan." Magister
Manajemen Agribisnis UGM, Yogyakarta: http://www. geocities.
com/mma5ugm/ModelKepemimpinanAgrib isnis. pdf 12 (2008): 12.
[3] Nawawi,
Ismail U. 2013. Budaya Organisasi, Kepemimpinan & Kinerja. Jakarta:
PRENADAMEDIA GROUP
[4] Nawawi,
Ismail U. 2013. Budaya Organisasi, Kepemimpinan & Kinerja. Jakarta:
PRENADAMEDIA GROUP
[5] Nawawi,
Hadari dan Hadari, Martini. 1993. KEPEMIMPINAN YANG EFEKTIF. Yogyakarta: GADJAH
MADA UNIVERSITY PRESS.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar